Mimpi itu terulang kembali.
Mimpi tentang masa kecil itu hadir lagi di dalam hidupku. Di dalam mimpi itu
kulihat diriku yang masih berumur 6 tahun sedang berlari – larian dengan
seorang bocah lelaki yang kurasa umurnya sama denganku pada masa itu. Nathan.
Itulah nama bocah itu yang masih kuingat hingga saat ini. Seorang bocah lelaki
yang pernah berjanji untuk selalu ada di sampingku, sebelum akhirnya aku pindah
ke luar negeri tanpa sempat berpamitan dengannya. Hanya kata – kata terakhirnya
yang masih tetap kuingat sampai saat ini, tapi tetap tak dapat memahaminya.
“Kalau besar nanti, aku pengen jadi orang yang diakui oleh semua orang
dan membawa kehidupan yang bahagia untuk orang lain.”
Hay, namaku Cindy. Saat ini aku
berumur 19 tahun. Aku seorang mahasiswa di salah satu universitas besar di
Australia. Ya, negara yang bersebelahan dengan Indonesia ini sekarang adalah
tempat tinggalku. Disini aku tinggal dengan kedua orang tuaku, yang pindah ke
Australia karena inilah kampung halaman ibuku Ayahku bertemu ibuku yang saat
itu sedang liburan di Indonesia. Bagaimana mereka bisa menikah, aku tak pernah
tahu, dan juga tak ingin tahu tentang semua itu. Ayahku disini bekerja sebagai
seorang ‘Archery Trainer’. Dulunya
ayah pernah mendapat medali emas di olimpiade saat mewakili Indonesia. Ibuku
membuka restoran nasi goreng di sini. Awalnya hanya sekedar kedai kecil yang
ayahku beli dari seorang muridnya, namun lama kelamaan kedai itu semakin ramai,
sehingga ayahku memilih untuk membangunnya. Yah, inilah keluargaku.
Sejujurnya, aku menyayangi kedua
orang tuaku. Tapi ada satu hal yang membuatku sebal dengan mereka. Perjodohan.
Ayahku menjodohkanku dengan putra dari kenalannya yang juga orang Indonesia, namun
beberapa tahun ini mereka memilih untuk pindah ke Australia. Aku belum pernah
menemui mereka. Tapi aku tidak suka saja dengan hal yang namanya perjodohan.
Sesuatu yang hanya akan membuatku merasa terpenjara di negara yang terkesan
bebas ini, meskipun masih jauh dibandingkan Amerika, yang menurutku bukan
negara bebas lagi, tapi negara yang bebas kebablasan.
Setidaknya begitulah kata orang jawa.
Kembali ke perjodohanku. Pernah
suatu hari aku mencoba untuk berkompromi dengan kedua orang tuaku. Namun seperti
orang tua – orang tua lainnya, mereka sama sekali tidak dapat diganggu gugat.
Tekad mereka sudah bulat. Kalau aku masih berani untuk mendebat hal tersebut
lebih lanjut, ayahku akan berkata,
“Cindy, apa salahnya dengan
perjodohan? Toh mereka juga orang Indonesia seperti kita. Mereka juga keluarga
baik – baik. Ayah kenal baik dengan Om Rendy, ayah dari John, lelaki yang akan
menjadi calon suami kamu kelak. Percayalah dengan ayahmu ini.”
Dan aku hanya
bisa terdiam seribu bahasa.
Suatu hari
sebelum aku berangkat kuliah,
“Cindy, ayah ada
kabar bagus buat kamu.”, cegah ayahku sebelum aku keluar dari pintu.
“Apa itu, yah?”,
tanyaku penasaran.
“Coba tebak? Om
Rendy memindahkan John untuk kuliah di kampus kamu! Ayah rasa kalian bisa
bertemu nanti di tempat kuliah, dan saling mengakrabkan diri.”, ucap ayahku
sambil tersenyum pergi.
Jleb! Semangatku
yang tadinya berharap kuliahku hari ini akan membuatku semangat, malah merosot
jatuh karena kabar buruk yang menurut ayahku bagus barusan. Argh! Aku ingin
sekali kembali ke kamarku dan tidak masuk kuliah hari ini. Ahh sudahlah~ Toh
aku belum tentu bertemu dengannya hari ini. Kupaksakan diriku berangkat, dan
kusetir mobil dengan perasaan yang campur aduk. Gelisah, gundah, bingung,
kecewa, semuanya bercampur membuat cuaca yang bagus hari ini seolah menjadi
badai yang datang untuk mengacau hidupku. Kurasakan kegelisahan yang memuncak
ketika aku memarkirkan mobilku di area kampus.
“Cindy!”, tiba –
tiba seseorang memanggilku dari jauh.
Aku menoleh dan
melihat siapa yang memanggilku. Tapi aku rasa aku tidak mengenalnya.
“Maaf, siapa
yah?”, tanyaku keheranan.
“Aku John,
putranya Om Rendy, teman ayah kamu.”, ucapnya sambil tersenyum.
Ya Tuhan!
Ternyata orang inilah yang ayahku ingin jodohkan denganku. Kuakui dia memang
tampan. Dengan hidungnya yang mancung, matanya yang besar dan berwarna coklat
terang, alisnya yang lebat, menarik seperti Alex Pettyfer, aktor utama dari
film I am Number Four. Tapi tetap
saja aku membenci perjodohan ini. Membenci segala hal yang membuatku terjebak dalam
kehidupanku sendiri. Benar – benar BENCI !!
Diapun mengikuti
mata pelajaran yang sama denganku, di jam yang sama pula. Entah ini kemauannya
sendiri atau sudah ada perintah dari ayahnya atau ayahku, aku tak mau tau. Yang
aku mau aku ingin bebas tanpa ada yang setiap hari mengekor di belakangku.
Sungguh menyebalkan! Saking sebalnya,
aku hampir tidak pernah merespon jika dia mengajakku bicara. Terserah apa yang
dia pikirkan tentangku, aku tidak peduli. Yang aku mau adalah kebebasan, hanya
itu.
Enam bulan sudah aku mengenal
John. Dan selama itu pula aku membuatnya terlihat tak berarti di mataku. Dia
seolah menjadi sampah yang tak pantas aku perhatikan. Menjadi seorang yang
bodoh karena tetap menemaniku selama enam bulan yang menurutku membosankan ini.
Padahal dia sering mengantar serta menjemputku saat kuliah, mengajakku makan
malam di luar (dan untuk hal ini aku terpaksa mau ikut karena paksaan ayahku),
bahkan mengajakku ke rumahnya untuk bertemu Om Rendy serta ibunya, tante Diana.
Dan hanya demi menjaga image ayahku di mata Om Rendy lah yang membuatku
bersikap ramah serta sopan di depan kedua orangtua John. Dibalik itu semua,
sikapku tetap dingin kepada John.
Suatu hari, mungkin karena
moodku yang hari itu benar – benar jelek, aku menolak John untuk mengantarku
pulang setelah jam kuliah usai.
“Mulai saat ini kamu gak perlu
nganter – jemput aku lagi deh. Percuma. Cuma bikin kamu capek malahan.”, ucapku
judes dan pergi meninggalkannya yang terdiam, kecewa.
Aku menyeberangi jalan menuju
mobilku di tempat parkir. Tanpa kusadari, muncul mobil dengan kecepatan cukup
tinggi menuju ke arahku. BRAKKK!!. Aku tak dapat menghindar. Badanku terlempar
ke samping dan kepalaku membentur tiang lampu jalan, berdarah. Sepersekian
detik kemudian aku sudah tak sadarkan diri.
*****
Aku terbangun di sebuah ruangan
yang putih bersih bercahaya. Kurasa aku telah mati. Itulah yang pertama
kupikirkan. Tapi tak lama kemudian kedua orangtuaku muncul dan memelukku. Aku
masih terlalu pusing untuk dapat memahami keadaan sekitarku. Butuh waktu lebih
dari 15 menit untuk mengingat kembali apa yang telah terjadi kepadaku sehingga
aku berada disini saat ini. Tak lama kemudian, akhirnya kusadari bahwa aku
berada di rumah sakit. Aku mencoba bertanya apa yang telah terjadi selama aku tak
sadarkan diri kepada ayahku. Tapi yang ada hanya tatapan sedih kepadaku yang
sedang tertidur tak berdaya ini.
Kucoba menggerakkan tanganku sedikit meskipun masih terasa sakit,
kucoba untuk menoleh ke samping kanan dan kiri untuk melemaskan ototku yang terasa
kaku. Kurasa lebih dari 3 hari aku tak sadarkan diri. Terlihat dari tanganku
yang kurus ini. Terakhir kucoba untuk menggerakkan kakiku. Terasa ada yang
aneh. Kakiku mati rasa. Kutengokkan kepalaku melihat kakiku yang masih
tertutupi selimut. Kugerakkan tanganku untuk membuka selimut itu.
Dan ternyata . . . AKU TAK MEMILIKI KEDUA KAKI LAGI!!
Aku menangis histeris melihat pemandangan yang mengerikan itu. Aku
menjerit keras dan membuat orangtuaku panik, yang akhirnya memanggil dokter
agar menyuntikkan obat penenang kepadaku.
Oh Tuhan, inikah takdir yang kau guratkan
Di lembaran hidupku yang telah nista
Kehilangan kesempurnaan ragaku
Kesempurnaan yang kau titipkan
Sejak
aku dilahirkan di dunia fana
Haruskah aku menjalani hidup seperti ini?
Tuhan, haruskah aku menjalaninya?
Tak kuasa diri menghadapi cobaan
Tiada asa yang kan terangi jalanku
Hanya rangkaian pedih yang kan menemaniku
Inikah kehendak-Mu, Tuhan?
Harus seperti inikah hidup yang kutempuh?
Atau Kau hanya ingin hidupku sia – sia?
Tanpa sinar yang kan terangi gelap malamku
Hanya keputusasaan sebagai teman bermainku
Setelah bangunpun aku kembali
menangis. Tapi kali ini aku tak lagi histeris. Hanya tangisan pedih yang mampu
kukeluarkan. Aku tak lagi memiliki tenaga untuk menangis sekeras yang aku mau.
Aku tak lagi memiliki harapan untuk mewujudkan mimpi – mimpiku yang telah lama
kurangkai sejak aku kecil. Mimpi – mimpi yang harusnya dapat aku raih beberapa
tahun lagi, kandas di tengah jalan seperti ranting kering yang diinjak – injak
ribuan orang yang melewatinya. Pikiranku gelap. Tak ada lagi sinar yang kan
membawaku menuju kehidupan seperti kehidupanku sebelumnya.
Satu minggu telah aku lewati
penuh kehampaan di rumah sakit ini. Selama itu pula aku hanya bisa diam tanpa
mengucap sepatah katapun. Kata dokter, ini hanya trauma. Orangtuaku mulai
sering mengajakku berkeliling di taman rumah sakit dengan kursi roda. Namun aku
tak dapat memikirkan apapun. Bagiku hidupku sudah berakhir disini. Tiada lagi
asa, mimpi, serta masa depan. Pada saat itulah aku ingat dengan seseorang, JOHN!
Saat itulah aku sangat merasa bersalah dan menyesal akan kelakuanku selama ini.
Aku menyesali tindakan bodohku yang egois dan dingin kepadanya. Segera aku
menyadari bahwa aku sama sekali tak melihatnya selama ini. Aku menanyakannya
kepada kedua orangtuaku.
“Ayah, Ibu. Sepertinya … Cindy
ti, tidak melihat … John sama sekali … setelah Cin, Cindy sadar. Kemana John,
ayah, ibu?”, tanyaku terbata – bata karena lidahku yang kaku.
Ayah dan Ibu hanya terdiam dan
saling memandang satu sama lain. Kemudian mereka membawaku ke sebuah kamar
pasien, tempat dimana aku melihat Om Rendy dan Tante Diana sedang terduduk
lemas. Dari sirat mata mereka, kusadari mereka sedang merasakan pedih yang amat
dalam. Dan di seberang tempat duduk mereka, kuamati seseorang yang tertidur
lemas dengan wajah yang amat sangat pucat, yang akhirnya kuketahui bahwa dialah
John! Segera aku bertanya kepada Om Rendy dan Tante Diana.
“Om, Tante, Rendy kenapa? Apa
yang terjadi sama Rendy?”, buruku dengan cepat kepada mereka. Namun ayahku
menarikku mundur dan menghadapkanku kepadanya.
“Cindy, saat kamu sampai di
rumah sakit ini, kamu telah kehilangan banyak sekali darah. Golongan darahmu yang
langka itu hanya sama dengan Ibumu. Namun ibumu sedang masa minum obat karena
sakit yang ia derita, sedangkan bank darah juga sedang kehabisan type darah
seperti milikmu.”, jelas ayahku. Ibukupun menghampiriku dan berlutut untuk
berbicara denganku.
“Namun ada satu orang lagi yang memiliki type yang sama dengan darah
milikmu, dialah John. Dia mendonorkan darahnya kepadamu, tanpa memerdulikan dia
akan kehilangan nyawanya sendiri karena darah yang dibutuhkan untuk operasimu
begitu banyak. Namun Tuhan memiliki takdir lain untuknya. Dia selamat dari masa
kritis 3 hari yang lalu, namun dia masih sangat lemas karena cukup lama dia
tidak sadarkan diri.”
Akupun menghampiri John yang terbujur lemas. Matannya yang sayu
memandangku penuh kasih sayang. Iya, akhirnya aku mengerti betapa besar rasa
sayangnya kepadaku, meskipun aku heran bagaimana dia mampu menyayangiku seperti
ini, orang yang baru dia kenal belum sampai satu tahun. Dia memintaku untuk
mendekat, dan berbisik di telingaku.
“Mungkin sangat
terlambat jika aku memberi tahumu sekarang, tapi aku akan memberi tahu nama
lengkapku kepadamu.”
Dengan sangat perlahan dia membisikkan
namanya di telingaku.
“Namaku
Johnathan Prayoga. Dan kalau tidak salah ingat, waktu kecil kau suka
memanggilku dengan nama ‘Nathan’ , kan?”, ucapnya sambil tersenyum dan kemudian
mencium pipiku mesra.
0 komentar:
Posting Komentar