“SELAMAT PAGI
DUNIA !!!”
Itulah
kata – kata yang setiap hari selalu aku ucapkan pada saat bangun tidur. Bukan
berarti aku selalu bersemangat, tapi aku hanya mencoba memberi semangat kepada
diriku sendiri. Walaupun terkadang aku tahu bahwa hari itu aku pasti akan
mengalami bencana – bencana seperti hari – hari sebelumnya, karena itulah yang
selalu terjadi kepadaku.
Hay,
namaku Rizal. Saat ini aku berumur 15 tahun, dan aku baru saja masuk ke salah
satu SMA favorit di kotaku. Sebut saja kota M. Di kota inilah aku dilahirkan,
dan kemungkinan besar, aku akan menutup hidupku disini pula kelak. Orang tuaku
keduanya bekerja. Ayahku bekerja di pertambangan, dan ibuku sebagai akuntan
bank. Sejak kecil aku diasuh oleh PRT di rumahku, Bi Ijah, karena orang tuaku
sibuk dengan pekerjaannya masing – masing.
Aku
memiliki hobi, yaitu basket. Hampir setiap minggu aku pergi ke lapangan kota
yang berada tak jauh dari rumahku. Kira – kira 5 menit perjalanan naik motor.
Di saat bermain basket inilah, aku merasa hidupku lebih terasa menyenangkan.
Mengenal banyak orang, memiliki banyak teman yang klop, dan bebas dari segala
tekanan. Sehingga sering kali aku melampiaskan rasa kesalku karena kehidupanku
yang menyebalkan ini dengan bermain basket.
Suatu
hari sepulang sekolah, aku sengaja mampir dulu ke lapangan kota untuk bermain
basket hanya untuk sekedar refreshing setelah belajar sepanjang hari. Karena
mungkin terlalu bersemangat, pada saat mencoba melempar untuk mendapat 3 point,
aku melemparnya terlalu tinggi hingga melampaui jarring, dan bolanya memantul
tinggi di tanah. Tanpa kuduga, bola itu memantul cukup tinggi dan mengenai
kepala salah seorang perempuan yang sedang bermain voli dengan teman –
temannya. Aku segera buru – buru menghampirinya untuk meminta maaf.
PLAKK!! Tiba –
tiba sebuah tamparan yang cukup keras melayang ke pipiku.
“Kamu buta
yah!? Bisa main basket gak sih! Lempar gitu aja gak becus!”, ledaknya tiba –
tiba.
“Maaf, mbak.
Saya gak sengaja. Lagian mbaknya juga main voli terlalu bersemangat sih. Jadi
gak fokus sama keadaan sekitar ‘kan. Hehehehe.”. jawabku untuk mencoba
meredakan suasana.
“Eh nih anak
udah salah tapi masih aja gak ngaku yah. Nyebelin banget sih!”, tangannya udah
siap menamparku lagi, dan akupun segera kabur kembali ke lapangan basket.
Setelah puas
bermain basket, akupun berniat pulang karena sudah hampir petang, dan aku juga
lapar. Segera kupakai helmku dan kukeluarkan motorku dari tempat parkir. Secara
tidak sengaja, aku menyenggol sebuah sepeda yang berada di samping motorku
hingga terjatuh. Tak lama kemudian orang yang punya sepeda itu datang. Dan
tebak, siapa orang itu? IYA! Dia perempuan yang sudah menamparku tadi!
“KAMU LAGI!?
Gak ada puasnya yah kamu habis aku tampar tadi!”, dan tangannya siap
menamparku. Kali ini aku lebih sigap dan kutangkap pergelangan tangannya
sebelum sampai ke pipiku, lagi.
“Mbak, jangan
sembarangan nampar orang dong. Sakit tau tadi.”, aku pun mulai menegasinya.
Tiba – tiba hujan turun, refleks aku dan perempuan itu berteduh di gazebo dekat
tempat parkir tadi, karena aku juga lupa tidak membawa mantel dari rumah.
Untuk beberapa
saat lamanya, kami saling berdiam diri. Karena merasa canggung, aku mencoba
mengulurkan tanganku kepadanya.
“Hay, aku
Rizal. Mbaknya siapa?”
Mungkin karena
suasana yang memang agak canggung diantara kami, akhirnya dia memilih menyalami
tanganku dan berkenalan.
“Aku Diandra.
Panggil aja Dee. Oh ya, maaf ya tadi sudah nampar kamu. Abis kamu nyebelin
sih.”, ungkapnya sambil tersenyum malu.
Untuk beberapa
saat, aku terkagum akan senyumnya yang begitu indah. Baru kali ini aku melihat
seorang perempuan semanis dia. Akhirnya kami ngobrol sambil menunggu hujan
reda. Setelah hujan reda, kami bertukar PIN sebelum pulang ke rumah masing –
masing.
Hanya memakan waktu
beberapa hari sebelum aku mulai dekat dengan Dee. Dia ternyata orangnya asyik,
berbeda dengan perempuan – perempuan yang selama ini aku temui. Mereka
kebanyakan sok ja’im (jaga image) di depan setiap lelaki. Beda dengan Dee.
Beberapa hal yang kuketahui tentang Dee akhir – akhir ini adalah : Dia termasuk
tim inti voli di sekolahnya, hobinya selain voli adalah berenang dan hiking, dan
yang paling penting, Dee belum menemukan orang yang tepat di hatinya.
Sejak bertemu
dengan Dee, aku jadi sering keluar dengannya. Terkadang nongkrong di café,
nonton film yang baru rilis di bioskop, bahkan aku sering diajaknya bermain
voli. Yah meskipun awalnya aku kurang suka dengan olahraga yang satu ini, tapi
karena Dee-lah aku mulai berminat dengan olahraga ini. Aku senang
memperhatikannya bermain voli. Rambutnya yang panjang dan diikat ke samping sungguh
sangat sempurna dengan wajahnya yang mempesona itu.
Sudah hampir 3
bulan aku mengenal Dee. Dan lebih dari 2 bulan aku memendam perasaanku
kepadanya. Benar, kurasa aku telah jatuh cinta. Dan kurasa sudah waktunya pula
aku mengungkapkan perasaanku ini kepada Dee. Jadi aku mengajaknya ketemuan di
café tempat aku dan dia biasa nongkrong.
“Dee, aku
pengen ngomong sesuatu sama kamu boleh gak?”, tanyaku setelah kurasa cukup
basa-basi selama 30 menit.
“Loh? Ya
langsung aja, zal. Kayak apa’an aja pake izin segala. Hehehehe.”
Aku diam
sesaat.
“Dee, kamu mau
gak jadi pacar aku?”
Diapun terkejut dan mulutnya mengatup rapat, terdiam.
“Aku sudah
mulai sayang sama kamu, Dee. Aku cinta sama kamu. Sejak kamu bertemu sama kamu,
aku tau kamu orangnya berbeda dari yang lain. Aku tau kamu berbeda dengan
wanita lain. Sejak ketemu sama kamu, hidupku jauh lebih berwarna. Jauh lebih
bermakna daripada hidupku yang biasanya membosankan dan tanpa arti. Kamulah
yang udah ngerubah hidup aku, Dee. Kamulah pembawa perubahan dalam hidup aku.”,
paparku panjang lebar, dan itu membuat Dee hanya diam, dengan raut muka yang
tak dapat aku mengerti saat itu.
Air mata Dee
tiba – tiba mengalir dari pelupuk matanya, “Maaf, Rizal. Aku gak bisa.” Dan
itulah kata – kata terakhirnya sebelum meninggalkan café, pergi dariku yang
terpaku karena mendengar kata – katanya.
Perasaanku
saat itu sangat galau. Bukan karena penolakan dari Dee, tapi alasan yang belum
kuketahui kenapa dia tiba – tiba meninggalkanku tanpa adanya penjelasan sama
sekali. Apa yang salah? Apa yang membuat Dee seketika bersikap seperti itu?
Berhari – hari aku memikirkan itu. Dan akhirnya kubulatkan tekadku dan menemui
Dee saat dia bermain voli pada suatu sore tanpa seizing dari Dee terlebih
dahulu.
“Dee, aku
pengen ngomong sama kamu. Boleh ‘kan?”, aku menarik tangannya menjauh dari
lapangan voli, ke tempat yang kurasa tepat untuk berbicara dengannya.
“Kamu tahu
‘kan tentang apa yang pengen aku omongin sama kamu?”
“Iya, zal.
Tapi maaf, aku bener – bener gabisa nrima kamu.”
“Tapi kenapa,
Dee? Kasih aku alasan yang jelas kenapa kamu gabisa nrima aku.”
Wajah Dee pun
mulai tegas,”Kalau kamu bener – bener pengen tau alasan aku, silahkan kamu cari
tau sendiri di blog pribadi aku. Dan jangan temui aku lagi sebelum kamu paham
dengan maksud aku.” Dee pun melangkah pergi meninggalkanku, lagi. Dan kukira
Dee menjatuhkan air mata saat pergi dariku, kalau aku tidak salah lihat sih.
Akupun
melakukan apa yang diminta oleh Dee. Karena aku tak tahu blog mana yang
dimaksud oleh Dee, akupun searching di internet tentang blog dengan kepemilikan
Diandra Paramitha Yonanda, nama asli Dee. Dan yang kutemukan adalah, NOL. Tak
ada blog dengan kepemilikan dengan nama tersebut. Kucoba dengan memakai 2 nama
depannya, tidak ketemu. Kucoba dengan memakai nama depan dan nama belakangnya
saja, juga tidak ketemu.
Setelah
berhari – hari mencari dan tak membuahkan hasil, aku merasa bahwa mungkin Dee
hanya beralasan saja . Mungkin Dee sama sekali tidak ingin mengenalku lagi.
Mungkin Dee tidak memiliki perasaan yang sama denganku. Tak kusangka hubunganku
dengan Dee yang awalnya begitu erat, malah hancur gara – gara perasaanku yang
tak dapat kubendung ini. Setidaknya itulah yang muncul di pikiranku saat itu.
Dua minggu
sudah aku tidak bertemu dengan Dee. Aku sudah kembali dengan kebiasaan lamaku,
yaitu bermain basket. Yah, setidaknya itulah yang bisa kulakukan untuk
mengatasi rasa sakit yang tak berarah
ini. Saat aku bermain basket di lapangan kota seperti biasanya, tak pernah lagi
kulihat Dee diantara teman – temannya.
Sepulang dari
basket, kubuka Facebook-ku. Kullihat foto – foto Dee di facebooknya yang
bernama “Dee Paramitha” dengan optional name “The Fallen Goddess”. Entah kenapa dia menuliskan optional name.nya
seperti itu. PYAARR!!! Tiba – tiba aku menyadari suatu hal. Aku searching di
google, mencari blog dengan nama ‘The
Fallen Goddess’. Dan ketemu! Tak kusangka bahwa Dee memakai optional
name-nya untuk blognya. Kubuka blog itu, dan kulihat satu persatu postingnya,
dan kulihat satu postingan dengan tag name “For
someone, forgive me.”
“Maaf, aku tak
sanggup menerimamu. Sejujurnya aku juga menyayangimu. Ingin sekali aku berkata
‘IYA’ sebagai jawaban atas pertanyaanmu saat itu. Maaf jika aku melukai
perasaanmu saat itu. Tapi hanya itulah yang bisa aku lakukan. Aku tak mempunyai
pilihan lain. Sejujurnya, aku bahagia sekali dengan pertemuan kita. Tapi aku
takut, aku benar – benar takut kau tak akan mampu menerimanya. Menerima
keberadaan janin yang aku kandung saat ini.”
Dan tanpa
kusadari air mataku pun menetes dari
kedua pelupuk mataku.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar