Hay! Aku Putri. Nama lengkapku Putri Sekar Arumi. Aku bertempat tinggal di salah satu daerah di Jawa Barat, bersama kedua orangtuaku tentunya. Aku memiliki hobi yaitu menulis. Menulis puisi, menulis cerpen, dan yang sampai sekarang belum kesampaian adalah menulis novel. Maklum, belum muncul ide sama sekali untuk membuat novel yang kuinginkan ^^. Oh iya. Aku juga mempunyai kakak, namanya Annisa, yang seringkali harus merasa terbebani karena aku sering memintanya untuk mengerjakan pekerjaan rumahku, terutama matematika. Hehehehe. Yah, kalian tau lah, matematika merupakan momok terbesar bagi hampir setiap murid sepertiku. Oh iya hampir kelupaan. Aku bersekolah di salah satu SMA di daerahku. Bukan favorit sih, tapi aku nyaman bersekolah disini.

Tidak lupa akan kukenalkan kalian dengan 3 sahabat karibku sejak SMP. Yang pertama Shinta. Sahabatku yang satu ini mempunyai hobi buruk, tidur. Sudah terlalu sering dia dihukum oleh guru karena sering ketahuan tidur di dalam kelas saat pelajaran sedang berlangsung. Tapi anehnya, dia sangat pintar dan selalu mampu menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh guru kepadanya. Maka dari itu aku sering juga meminta bantuannya saat ujian. Hehehe. Sahabatku yang kedua adalah Rama. Dia cowok yang pendiam, tapi kalau kami butuh seseorang untuk diajak curhat, dialah yang kami tuju. Setiap solusi yang diberikannya selalu terbukti sangat berguna bagi kami. Contohnya, pernah suatu hari Shinta dibingungkan oleh 2 orang cowok yang menembaknya di waktu yang hampir bersamaan. Nah Shinta ini meminta pendapat Rama pada waktu itu, dan akhirnya Shinta tidak memilih kedua – duanya. Aku bertanya kepada Shinta apa alasan dia menolak kedua cowok itu, dan Shinta hanya menggeleng karena Rama juga tidak memberitahukan alasannya. Tapi beberapa hari kemudian, kami tahu bahwa kedua cowok yang menembak Shinta tadi ternyata hanya sedang melakukan taruhan dengan kelompoknya. Dan syukurlah Shinta mengikuti saran Rama waktu itu.

Sahabatku yang terakhir, tapi bukan berarti dia adalah yang terakhir di hatiku, adalah Rizal. Dia adalah pemain inti tim basket di sekolahku, dan dia merupakan murid terpopuler di angkatan kami. Kenapa tidak? Wajahnya yang sangat manis, serta kulitnya yang putih bersih seringkali menarik  perhatian siswa – siswa perempuan sekolahku. Tapi yang aku herankan adalah sampai saat ini dia sama sekali belum pernah aku lihat sekalipun menjalin hubungan dengan siswa perempuan di sekolahku. Atau mungkin dia guy? Kucoba menyingkirkan pikiran negatif itu. Aku rasa dia cuma belum menemukan yang tepat di hatinya. Yang aku tahu tentang Rizal adalah dia orang yang sangat baik dan suka membantu orang lain. Dan yang jarang ditemukan pada lelaki lain, Rizal ini adalah lelaki yang menghargai perempuan. Tak heran dia selalu dikejar – kejar setiap perempuan.

Kami berempat selalu bersama. Bermain bersama, belajar bersama, makan – makan bersama, dan banyak lagi kegiatan yang hampir selalu kami lakukan bersama. Tak diragukan lagi, kekompakan kami sudah terkenal paling top, walaupun aku cuma sekelas dengan Shinta, sedangkan Rama dan Rizal berada di kelas yang berbeda dengan kami berdua. Suatu hari, saat pelajaran sedang berlangsung masuklah Kepala Sekolah ke dalam kelas kami …

“Maaf anak – anak, pelajaran terganggu untuk sesaat. Bapak cuma ingin memberitahukan bahwa ada seorang siswa baru yang akan menjadi teman kalian mulai hari ini. Silahkan masuk, nak.”, Kepala Sekolah melambaikan tangannya ke arah seseorang yang berdiri di luar kelas.

Saat anak itu masuk, aku langsung terpana melihat dirinya. Seorang lelaki dengan wajah yang begitu menenangkan, pandangan matanya yang memancarkan suasana romantis, serta sikap dan gayanya yang apa adanya. Sungguh membuatku menikmati waktu 5 detik yang kugunakan untuk mengamati setiap langkahnya menuju Kepala Sekolah yang memanggilnya.

“Inilah siswa yang bapak maksudkan tadi. Sebelumnya dia bersekolah di luar negeri. Dia  pindah kesini karena mengikuti orangtuanya yang dipindahtugaskan kemari. Untuk lebih jelasnya, silahkan kamu memperkenalkan diri, nak.”, Pak KepSek mempersilahkan siswa baru itu dan mundur selangkah.

“Salam kenal. Nama saya Sandy Pratama Effendi. Saya biasa dipanggil Sandy. Sebenarnya saya lahir di Indonesia, tepatnya di Jakarta. Tapi karena pekerjaan, ayah saya pindah keluar negeri, dan sekarang karena pekerjaan pula kami kembali ke Indonesia.”, papar siswa itu dengan tegas.

Setelah selesai memperkenalkan diri, Pak Kepala Sekolah mempersilahkan anak itu untuk duduk di bangku kosong yang diinginkannya. Dan celakanya, bangku kosong di kelas kami hanya tinggal satu, dan itu di belakangku! Siswa itu berjalan ke arahku, dan tatapan kamipun beradu untuk sesaat. Wajahku langsung memerah dan spontan aku menundukkan kepalaku untuk menyembunyikannya sebelum dia menyadari tentang kesalahtingkahanku.

Satu minggu sudah anak baru itu menempati bangku di belakangku dan Shinta. Dan mungkin sudah terlalu sering aku mengamati setiap gerik – geriknya. Sedikit yang aku tahu tentang dia, yaitu hobinya yang pertama adalah membaca. Sering aku melihatnya keluar – masuk perpustakaan sambil membawa buku – buku pelajaran atau novel. Hobinya yang kedua adalah bermain basket. Sepulang sekolah selalu kulihat dia bermain di lapangan basket. Kadang sendiri, kadang dengan teman – teman basket barunya di sekolahku. Dia juga mengikuti klub basket. Dan tidak sulit baginya untuk akrab dengan seluruh peserta klub, termasuk dengan Rizal, sahabatku.

Hari demi hari aku memperhatikannya. Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Aku selalu memperhatikannya. Dan kurasa, ada perasaan spesial yang perlahan menghampiriku. Membuat waktuku berjalan begitu cepat ketika di sekolah, karena aku dapat melihat wajahnya. Dan waktu di rumah berjalan begitu lamban, karena ku tak dapat melihat tawanya serta berbagai macam aktifitasnya. Kucoba untuk melupakannya hanya untuk sesaat, tetapi malah muncul rasa sesak yang begitu hebat di dalam dada. Aku tak mampu menahannya. Aku tak mampu melupakan wajah polosnya yang begitu menenangkan di mataku. Dan satu kesimpulan kecil yang muncul di pikiranku, AKU JATUH CINTA.

Ya, seorang Sandy, siswa baru yang pindah dari luar negeri itu telah membuatku tak berdaya dengan perasaanku sendiri. Seseorang yang begitu inginnya aku tuk berbicara dengannya. Namun aku cuma bisa diam. Tak mungkin aku memulai pembicaraan terlebih dahulu. Aku perempuan. Yang seharusnya memulai pembicaraan terlebih dulu adalah si laki – laki kan? Begitulah pikiranku sebelum aku mencoba mendiskusikannya dengan Shinta suatu hari, dan mendapat info terbaru yang membuatku jatuh ke tanah, setelah terbang karena perasaanku sendiri.

“Shin, menurut kamu, salah gak sih kalau aku mikir antara cewek dan cowok, yang memulai pembicaraan itu harus cowok duluan?”, tanyaku kepada Shinta waktu sedang jam istirahat di kantin.

“Gak ada salahnya sih, Put. Tapi menurutku kalau emang suka, cewek gak perlu nunggu kan untuk ngomong duluan? Eh, ngomong-ngomong tentang mana yang duluan, sejujurnya aku juga udah nge-kontak cowok yang aku suka lebih dulu, Put.”, ungkapnya sambil malu – malu.

“Siapa, Shin? Ciye yang lagi jatuh cinta nih ye~”, godaku sambil senyum – senyum jahil. Hihihihi

Shinta mendekatiku dan berbisik di telingaku,

“Aku suka Sandy.”

JLEB! Seketika terasa seperti ditusuk oleh tombak bermata tiga. Aku langsung terdiam. Kepalaku tiba – tiba serasa berputar, pusing. Aku meminta izin kepada Shinta untuk ke UKS karena pusingku ini. Shinta menawarkan diri untuk mengantarku, dan aku menolaknya. Kupikir aku butuh waktu sendiri untuk saat ini. Kutinggalkan Shinta yang sepertinya khawatir akan keadaanku. Aku keluar dari areal kantin sambil terus mencoba menahan rasa sakitku ini. Sungguh begitu menyakitkan rasanya ketika sahabat kita sendiri ternyata menyukai orang yang juga kita sukai. Aku berjalan tak hati – hati dan menabrak seseorang sehingga aku jatuh ke belakang. Orang itu mengulurkan tangannya untuk membantuku dan segera kuterima. Aku berdiri sempoyongan dan kulihat wajah orang itu. Begitu sadar, aku hanya bisa terdiam tanpa kata di tempat. Dia SANDY!

“Kamu gak papa?”, tanyanya sambil memperhatikanku yang terdiam.

Aku hanya menunduk menyembunyikan wajahku. Tak lama kemudian aku mencoba untuk segera berlari darinya, namun Sandy segera meraih pergelangan tanganku dan membuatku terhenti seketika.

“Putri …”, dia memanggil namaku. Aku terhenyak untuk sesaat. Apa dia memperhatikanku? Tidak. Kurasa dia hanya mengetahui namaku dari Shinta. Dan baginya mungkin aku hanya sekedar kenalan, tidak lebih. Perlahan kubalikkan badanku dan menghadapnya kembali.

“Iya?”, tanyaku mencoba untuk menjawab panggilannya lagi.

Tanpa ada aba – aba apapun, Sandy menarik tanganku menuju ke arah tangga dan mengucapkan hal yang tak terduga.

“Aku suka kamu, Put. Dari awal aku ketemu kamu, aku suka kamu. Mungkin kamu gak tahu, tapi aku sering perhati’in kamu yang lagi ngliatin aku main basket, atau waktu aku berada di perpus. Pertama kali aku kontak mata sama kamu, aku langsung jatuh cinta. Dan aku bersyukur bisa duduk di belakang kamu waktu itu. Percaya tidak percaya, perasaan ini tumbuh begitu cepat tanpa bisa aku bendung. Sebelumnya aku minta maaf karena tiba – tiba ngomong gini. Intinya adalah … Aku Cinta Kamu.”

Aku terdiam. Aku terdiam untuk beberapa waktu. Otakku tak dapat mencerna semua kejadian ini. Semua hal yang terjadi begitu mendadak ini membuatku pusing. Shinta bilang dia menyukai Sandy, dan sekarang tiba – tiba tanpa kuduga Sandy mengungkapkan perasaannya kepadaku. Lalu apa yang harus aku lakukan?? Perang batin pun dimulai di pikiran dan hatiku. Aku tak dapat memutuskan apa yang harus aku lakukan!

“Sandy, maaf. Sejujurnya aku juga memiliki perasaan yang sama seperti yang kamu rasakan. Tapi aku tidak mungkin bisa tiba – tiba dekat dengan kamu. Tidak dengan kondisi sahabatku sendiri juga suka sama kamu.”, dan air matakupun berlinang seiring dengan senyumku yang sengaja kubuat untuk menenangkan hatiku sendiri.  Detik berikutnya, Sandy memelukku dan membuat air mataku jatuh semakin deras. Aku mencintainya. Tapi aku tak mampu merusak persahabatan yang sudah lama kujalin hanya karena cinta. Ya. Aku memutuskan untuk memendam perasaanku sendiri. Aku tak ingin membuat sahabatku terluka. Aku harus lebih memprioritaskan persahabatanku daripada perasaanku sendiri.

Kulepas pelukan Sandy. Sesaat dia seperti akan mengatakan sesuatu, tapi aku menahannya.

“Maaf, Sandy. Aku rasa kita tidak akan menuju tahap hubungan seperti yang kamu inginkan. Aku lebih memilih persahabatanku daripada perasaanku sendiri. Aku rasa kita hanya akan menjadi sebatas teman, tidak lebih. Maaf.”, aku memalingkan wajahku dari hadapannya, dan aku mulai berjalan perlahan meninggalkannya yang sepertinya terluka karena kata – kataku barusan. Sejujurnya aku sendiri terlalu sakit melakukan ini. Tapi aku tak ingin orang lain terluka karena aku. Aku tak ingin aku bahagia di atas penderitaan orang lain. Dan keputusanku sudah bulat. Dengan hati yang rapuh ini, aku memanjatkan do’a di setiap sholatku, di setiap ibadah yang kulakukan kepada-Nya. Aku percaya setiap janji – janji Nya, dan aku memberikan janjiku untuk membalas setiap rahmat-Nya.

“Ya Allah, berikanlah batas antara aku dengannya jika itu diperlukan untuk membuat orang lain disekitarku bahagia. Biarkanlah aku dan dia yang terluka demi kebahagiaan sahabatku. Aku janji untuk meninggalkannya, dan Kau harus membuat orang di sekitarku bahagia. Jika aku melanggarnya, Kau boleh menghukumku, Ya Rabb. Amin”
__________________________________________________________________

Dua bulan sudah aku melewati hariku dengan menyimpan segala hal dan menguburkannya dalam – dalam di otakku. Aku dan Sandy tidak pernah berbicara lagi setelah hari itu. Pernah beberapa kali dia mencoba berbicara denganku, tapi aku selalu menghindar. Sampai akhirnya kurasa dia menyerah dan memilih mengikuti apa yang kumau. Namun suatu hari sepulang sekolah, sepertinya dia tidak tahan lagi dengan keadaan ini dan mencegatku di depan gerbang sekolah.

“Putri, aku mau bicara sama kamu.”, Sandy meraih pergelangan tanganku. Dan aku melepaskan genggamannya dari tanganku dengan paksa.

“Gak ada yang perlu kita bicarakan, San. Maaf.”, jawabku sambil mencoba pergi darinya, namun sepertinya percuma.

“Put, kamu kenapa sih kayak gini? Aku salah apa sama kamu? Apa ini gara – gara Shinta?”, pertanyaannya membuatku diam di tempat seketika. 

“Apa dia yang kamu khawatirkan? Apa dia yang menjadi halangan cinta kita tidak bisa bersatu? Aku butuh jawaban dari kamu, Put.”, dan aku hanya bisa terdiam sambil memandang ke bawah. Tak sanggup diriku tuk menatap matanya saat ini.

Tak menunggu lebih lama lagi, Sandy menarikku ke taman di sebelah sekolahku. Kebetulan taman itu sedang sepi pengunjung, jadi aku tidak ragu untuk menceritakan hal pribadi seperti ini. Setelah mendapat tempat duduk, segera aku menjelaskan segalanya.

“San, aku minta maaf jika kata – kataku yang aku ucapin waktu kamu nyatain perasaan kamu ke aku dulu itu ngebuat kamu sakit hati. Tapi aku tidak ada pilihan lain. Aku nglakuin itu karena aku bener – bener gak bisa nyakitin perasaaan sahabatku sendiri, aku …”

“Aku gak papa kok, Put.”, tiba – tiba terdengar suara seseorang yang sangat aku kenal di belakangku. Kupalingkan wajahku ke sumber suara, dan kulihat Shinta berdiri di belakangku sambil tersenyum kepadaku.

“Kamu gak perlu ngorbanin perasaan kamu demi aku, Put. Seharusnya kamu jujur aja ke aku. Kan kita sahabat. Masa’ sahabat rahasia – rahasia’an sih!”, papar Shinta sambil mencubitku. Aku cuma bisa memasang wajah bingung. Aku masih belum paham dengan situasi yang aku hadapi saat ini.

“Begini, Put. Sandy udah ngejelasin semuanya ke aku. Bener aku suka sama dia, tapi aku cuma sekedar  suka aja, gak lebih. Yang pantas buat Sandy itu kamu. Kamu bener – bener sayang sama dia, kamu juga perhatian sama dia. Mungkin aku sedikit terluka, tapi kurasa itu udah biasa. Hehehehe.”, Shinta menjelaskan semuanya dengan jelas.

“Tuh ‘kan Put. Makanya jangan pernah nyerah sama cinta kamu. Aku cinta kamu, Put. Kalau perlu, aku bakal nunjukkin ke seluruh dunia kalau aku bener – bener sayang sama kamu.”, Sandy berdiri, dan mengatakan itu semua sambil berjalan mundur kegirangan menuju jalan raya di depan gerbang sekolah.

“Aku bakal nunjukkin ke dunia, Putri . . . Aku sayang ka…”

BRAKK!!
 
Sebuah mobil yang berjalan begitu cepat menabrak Sandy dari arah samping. Aku dan Shinta terdiam sesaat di tempat. Sepersekian detik kemudian aku mulai menyadari peristiwa yang terjadi di depanku. Aku jatuh merosot ke tanah dan terduduk di tanah dengan lemas. Shinta segera berlari menghampiri Sandy yang terkapar dan berteriak minta tolong. Seseorang memanggil ambulans, dan tak lama kemudian ambulans datang memulai pertolongan pertama di tempat dengan mengalirkan shock listrik ke dada Sandy. Aku tetap terduduk lemas di tempat semula. Aku hanya bisa mengucap do’a di dalam hatiku berulang kali.

“Ya Allah, selamatkan dia. Selamatkan nyawanya. Aku akan memberikan hal yang sangat berharga bagiku, asal kau kembalikan dia, Ya Rabb. Selamatkan dia...”, kuulang do’aku berulang kali. Kuulang semua do’a itu di dalam hati. Hatiku resah tak karuan saat itu.

Sampai akhirnya detak jantung Sandy kembali, dan aku mencucurkan air mataku merasa lega karena dia sudah kembali. Aku sangat bersyukur . . . Dari jalan raya Sandy menatapku, aku hanya bisa terdiam. Ketakutan akan kehilangan dirinya begitu besar. Tubuhku sendiri gemetar sangat hebat. Aku menyayanginya sepenuh hatiku, Ya Rabb . . .

Dan aku teringat janji yang kuucapkan kepada-Nya. Perlahan aku mulai menyadari janji yang telah kuucapkan tadi. Sebuah janji yang tanpa sadar  terucap di hatiku. Sebuah janji yang begitu besar . . 

“Aku akan memberikan hal yang sangat berharga bagiku, asal kau kembalikan dia, Ya Rabb.”

Sesuatu yang berharga bagiku itu . . . SANDY!

Aku menyadari apa yang sudah kulakukan. Aku menyadari apa yang sudah kujanjikan kepada – Nya. Aku mulai menyadari janji yang dulu kuucap saat diriku mengharapkan orang lain disekitarku bahagia. Dan tadi, aku telah melanggarnya. Seharusnya aku tak mendekati Sandy lagi. Ini semua salahku. Ini semua adalah salahku. Kucucurkan lagi air mataku, air mata penyesalan . . .

Saat itu pula kubulatkan tekad. Aku tak akan menemui Sandy lagi. Dengan begitu aku percaya Sandy tidak akan mengalami bahaya mendekati kematian karena diriku lagi. Dan niatanku ini kukatakan kepada Shinta. Shinta hanya bisa terdiam. Aku tak boleh membuat Sandy celaka lagi. Di rumah, aku meminta orangtuaku untuk mengirimku ke rumah pamanku di Australia. Aku akan bersekolah disana. Aku harus berada jauh dari Sandy, demi kebahagiaan Sandy dan juga nyawanya. Aku pergi . . . tanpa berpamitan kepadanya.
__________________________________________________________________

To Be Continued ...

Download .pdf

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2012 Cerita dan Tulisan Anak Negeri / Template by : Urang-kurai